Chicken Soup For The Coffee Lover's Soul
Oleh Jack Canfield, Mark Victor Hansen, dan Theresa Peluso
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama 2011
Kriteria Novel
: Nonfiksi
Ukuran
: 13.5 x 20 cm
Tebal
: 256 halaman
Terbit
: Mei 2011
Kategori
: Pengembangan Diri dan
Inspirasional
SINOPSIS
Buku ini didedikasikan kepada mereka yang menjalin romansa
dengan biji kopi dalam pencarian secangkir kopi yang sempurna.
Sebagian besar para peminum kopi sejati memulai hari dengan
cangkir kopi panas—ritual yang dilakukan oleh jutaan orang di seluruh dunia.
Daya tarik kopi yang paling memikat adalah aroma. Menggenggam cangkir mengepul
dan menghirup aroma kuatnya membangkitkan semangat kita untuk menghadapi segala
suasana hati dan tantangan hidup. Dan, puncak kenikmatannya adalah ketika
mencecap rasanya. Dengan antisipasi terjaga, pencinta kopi mengenali kekentalan
dan keenceran racikannya.
Para penulis memahat kisah di sini sambil menghirup kopi,
dan sering kali terinspirasi saat mereka menatap cangkir keberuntungannya. Di
halaman-halaman berikutnya ada banyak kisah tentang pencapaian, kegembiraan,
simpati, penyembuhan, dan saat-saat penuh kenangan yang dijalin melalui
kehangatan dan kelezatan secangkir kopi yang nikmat.
Mari, kita duduk sejenak. Santai saja, biarkan hal lain yang
harus dilakukan menunggu sebentar lagi, dan nikmatilah secangkir kopi bersama
kami.
Gadis itu berderai air mata saat membakar foto pria pujaan
yang tak direstui orangtuanya. Foto terbakar habis dan abunya dicampurkan
dengan kopi lantas ditenggak hingga tandas.
Barangkali gambaran minum kopi seperti gadis dalam penggalan
adegan di sebuah film lawas tanah air itu kelewat ekstrim. Tapi bagi sebagian
orang, minuman berkafein memang berkhasiat buat menelan problema hidup yang
kadang sepahit kopi. Kisah-kisah hidup bersahabat dengan kopi itulah yang
mereka bagikan dalamChicken Soup for the Coffee Lover’s Soul.
Ini satu dari 200 judul buku dalam serial Chicken Soup for
the Soul yang dibuat Jack Canfield dan Mark Victor Hansen sejak 28 Juni 1993.
Buku dalam seri nonfiksi ini telah diterbitkan di lebih dari 50 negara dan
terjual melampaui 100 juta eksemplar.
Namun berbeda dengan pendahulunya, cerita-cerita dalam buku
ini tak melulu manis. Sebagian dari sekitar 50 penyumbang cerita ada kisahnya
ditutup dengan bercerai, tertimpa masalah karena terlambat sampai kantor, dan
terpaksa sarapan “sup kopi” setiap pagi.
Buku ini memang bukan bercerita soal hikmah di balik
penderitaan manusia, tapi soal kopi dan pengaruh minuman dari bij yang
ditemukan di Etiopia pada 1000 SM itu. Para penulis yang dikumpulkan
Canfield-Hansen bercerita soal tumbuh dengan kopi, betapa hari yang cerah
dimulai dengan bercangkir-cangkir kopi, dan cara kopi menghangatkan keluarga
serta melumerkan kebekuan komunikasi.
Ini memang bacaan buat penikmat kopi atau mereka yang
tertarik dengan secangkir cairan kental berwarna kehitaman ini. Yang menyenangkan,
buku ini cukup bersahabat bagi mereka yang bukan ensiklopedia kopi yang paham
soal aroma, rasa, dan tekstur. Banyak penulisnya yang bukan pecinta kopi pahit,
mereka memilih dicampur krim atau dituangi banyak sekali susu. Malah di
dalamnya bertaburan tulisan penambah pengetahuan yang berisi serba-serbi
tentang kopi dan cara menikmatinya.
Kopi kadang bisa dinikmati walau bijinya tidak digiling
sempurna sehingga ada bongkahan kecil tercampur dalam bubuk. Sayangnya dalam
dunia buku, itu tidak berlaku. Meski konsep buku ini unik dan menarik,
sayangnya penerjemahan dan penyuntingan buku ini masih kasar.
Coffee Lover’s Soul bukanlah buku Chicken Soup pertama yang
saya beli dalam setahun terakhir. Sebelumnya saya membeli Chicken Soup for the
Writer’s Soul yang diterbitkan pada 2007. Terjemahannya tak terlalu bagus.
Karena Coffee Lover’s dirilis tahun ini, saya menduga terjemahannya akan lebih
baik.
Maka dengan semangat saya membelinya dengan uang hasil kerja
sambil bergadang –dan tak bisa tidur– hasil dari bergelas-gelas kopi dalam
sehari. Saya penikmat kopi maka ini buku wajib dimiliki, dibanding
katakanlah,Chicken Soup for the Tea Lover’s Soul yang terbit hampir bersamaan
tapi dengan banderol harga lebih mahal.
Tapi mari baca cerita Kafe Martin yang menurut penulisnya,
Ruth Coe Chambers, menyajikan kopi terbaik di kotanya. Cerpenis, novelis, dan
penulis naskah drama ini bercerita soal Martin, pemilik kafe favoritnya yang
ramah dan humoris, serta siap mengetuk pintu rumahmu dan membantu sebisanya
jika ada keluargamu yang meninggal.
Dengan kepribadian menawan itu, anehnya dalam cerita muncul
kalimat, “Para pelanggan bergurau bahwa kami selalu dilecehkan dengan setiap
kopi kami…” dan “Kami terus-menerus merindukan Martin, terutama pelecehannya.”
Saya tak bisa menemukan kata yang kemudian diterjemahkan jadi “pelecehan”
sehingga bisa memahami kalimat-kalimat ini.
Lantas pada cerita Bahan Baku Rahasia yang Tak terduga, Mary
Caffrey Knapke bercerita soal kunjungan orangtuanya ke rumah keluarga
kekasihnya di Irlandia. Rumah keluarga Emmett itu, kata si penerjemah, “…berada
di sepanjang pantai…”. Irlandia tak sebesar Kalimantan, tapi jika rumah
keluarga Emmett berada di sepanjang pantai jelaslah mereka amat kaya dengan
rumah sepanjang itu, atau barangkali yang dimaksud adalah “berada di tepi
pantai”?
Dalam salah satu artikel soal “serba-serbi kopi”, ada
tulisan berjudul Obituari yang bercerita tentang “tewasnya” mesin pembuat kopi,
Mister Coffee, dengan gaya tutur personifikasi. Seolah Mister Coffee bekerja di
sebuah keluarga dengan karier sebagai “Kepala Rumah Tangga – Spesialisasi dalam
Pembuatan Kopi”. Barangkali yang dimaksud adalah semacam Butler atau lebih
pasnya, Kepala Urusan Rumah Tangga, karena kepala rumah tangga dalam pemahaman
Indonesia adalah suami atau ayah.
Lantas mereka yang ingin datang ke pemakaman Mister Coffee,
“… diminta membawa donat, cangkir kertas, dan penyedap rasa…”. Anda tertarik
minum kopi dengan campuran Ajinomoto atau Sasa atau Miwon atau merek-merek
monosodium glutamat lainnya? Saya tidak.
Karena itulah saya lebih banyak membaca buku ini sambil
minum kopi demi menelan saja pahitnya gumpalan-gumpalan kalimat yang tak
tersunting halus itu. Sembari berharap saya membeli saja nanti ketika buku ini
dicetak ulang, yang barangkali sudah dipermak di sana-sini.
Pilihan lainnya, ya mulai beralih minum teh saja karena
terjemahan Chicken Soup for the Tea Lover’s Soul oleh Donna Widjajanto lebih
apik. Lagipula mengingat ada 200 lebih halaman, rasanya tak mungkin minum
campuran abunya dengan kopi seperti gadis di film tadi.
Dimana saya bisa membelinya untuk saat ini??
BalasHapusapakah masih ada di Gramedia?