Rabu, 30 Mei 2012

Resensi Novel Chicken Soup For The Coffee Lover's Soul

Chicken Soup For The Coffee Lover's Soul

Oleh Jack Canfield, Mark Victor Hansen, dan Theresa Peluso
Penerbit            :  Gramedia Pustaka Utama 2011

Kriteria Novel   :  Nonfiksi

Ukuran              :  13.5 x 20 cm

Tebal                 :  256 halaman

Terbit                :  Mei 2011

Kategori            :  Pengembangan Diri dan Inspirasional

SINOPSIS

Buku ini didedikasikan kepada mereka yang menjalin romansa dengan biji kopi dalam pencarian secangkir kopi yang sempurna.

Sebagian besar para peminum kopi sejati memulai hari dengan cangkir kopi panas—ritual yang dilakukan oleh jutaan orang di seluruh dunia. Daya tarik kopi yang paling memikat adalah aroma. Menggenggam cangkir mengepul dan menghirup aroma kuatnya membangkitkan semangat kita untuk menghadapi segala suasana hati dan tantangan hidup. Dan, puncak kenikmatannya adalah ketika mencecap rasanya. Dengan antisipasi terjaga, pencinta kopi mengenali kekentalan dan keenceran racikannya.


Para penulis memahat kisah di sini sambil menghirup kopi, dan sering kali terinspirasi saat mereka menatap cangkir keberuntungannya. Di halaman-halaman berikutnya ada banyak kisah tentang pencapaian, kegembiraan, simpati, penyembuhan, dan saat-saat penuh kenangan yang dijalin melalui kehangatan dan kelezatan secangkir kopi yang nikmat.

Mari, kita duduk sejenak. Santai saja, biarkan hal lain yang harus dilakukan menunggu sebentar lagi, dan nikmatilah secangkir kopi bersama kami.

Gadis itu berderai air mata saat membakar foto pria pujaan yang tak direstui orangtuanya. Foto terbakar habis dan abunya dicampurkan dengan kopi lantas ditenggak hingga tandas.

Barangkali gambaran minum kopi seperti gadis dalam penggalan adegan di sebuah film lawas tanah air itu kelewat ekstrim. Tapi bagi sebagian orang, minuman berkafein memang berkhasiat buat menelan problema hidup yang kadang sepahit kopi. Kisah-kisah hidup bersahabat dengan kopi itulah yang mereka bagikan dalamChicken Soup for the Coffee Lover’s Soul.

Ini satu dari 200 judul buku dalam serial Chicken Soup for the Soul yang dibuat Jack Canfield dan Mark Victor Hansen sejak 28 Juni 1993. Buku dalam seri nonfiksi ini telah diterbitkan di lebih dari 50 negara dan terjual melampaui 100 juta eksemplar.

Namun berbeda dengan pendahulunya, cerita-cerita dalam buku ini tak melulu manis. Sebagian dari sekitar 50 penyumbang cerita ada kisahnya ditutup dengan bercerai, tertimpa masalah karena terlambat sampai kantor, dan terpaksa sarapan “sup kopi” setiap pagi.

Buku ini memang bukan bercerita soal hikmah di balik penderitaan manusia, tapi soal kopi dan pengaruh minuman dari bij yang ditemukan di Etiopia pada 1000 SM itu. Para penulis yang dikumpulkan Canfield-Hansen bercerita soal tumbuh dengan kopi, betapa hari yang cerah dimulai dengan bercangkir-cangkir kopi, dan cara kopi menghangatkan keluarga serta melumerkan kebekuan komunikasi.

Ini memang bacaan buat penikmat kopi atau mereka yang tertarik dengan secangkir cairan kental berwarna kehitaman ini. Yang menyenangkan, buku ini cukup bersahabat bagi mereka yang bukan ensiklopedia kopi yang paham soal aroma, rasa, dan tekstur. Banyak penulisnya yang bukan pecinta kopi pahit, mereka memilih dicampur krim atau dituangi banyak sekali susu. Malah di dalamnya bertaburan tulisan penambah pengetahuan yang berisi serba-serbi tentang kopi dan cara menikmatinya.

Kopi kadang bisa dinikmati walau bijinya tidak digiling sempurna sehingga ada bongkahan kecil tercampur dalam bubuk. Sayangnya dalam dunia buku, itu tidak berlaku. Meski konsep buku ini unik dan menarik, sayangnya penerjemahan dan penyuntingan buku ini masih kasar.

Coffee Lover’s Soul bukanlah buku Chicken Soup pertama yang saya beli dalam setahun terakhir. Sebelumnya saya membeli Chicken Soup for the Writer’s Soul yang diterbitkan pada 2007. Terjemahannya tak terlalu bagus. Karena Coffee Lover’s dirilis tahun ini, saya menduga terjemahannya akan lebih baik.

Maka dengan semangat saya membelinya dengan uang hasil kerja sambil bergadang –dan tak bisa tidur– hasil dari bergelas-gelas kopi dalam sehari. Saya penikmat kopi maka ini buku wajib dimiliki, dibanding katakanlah,Chicken Soup for the Tea Lover’s Soul yang terbit hampir bersamaan tapi dengan banderol harga lebih mahal.

Tapi mari baca cerita Kafe Martin yang menurut penulisnya, Ruth Coe Chambers, menyajikan kopi terbaik di kotanya. Cerpenis, novelis, dan penulis naskah drama ini bercerita soal Martin, pemilik kafe favoritnya yang ramah dan humoris, serta siap mengetuk pintu rumahmu dan membantu sebisanya jika ada keluargamu yang meninggal.

Dengan kepribadian menawan itu, anehnya dalam cerita muncul kalimat, “Para pelanggan bergurau bahwa kami selalu dilecehkan dengan setiap kopi kami…” dan “Kami terus-menerus merindukan Martin, terutama pelecehannya.” Saya tak bisa menemukan kata yang kemudian diterjemahkan jadi “pelecehan” sehingga bisa memahami kalimat-kalimat ini.

Lantas pada cerita Bahan Baku Rahasia yang Tak terduga, Mary Caffrey Knapke bercerita soal kunjungan orangtuanya ke rumah keluarga kekasihnya di Irlandia. Rumah keluarga Emmett itu, kata si penerjemah, “…berada di sepanjang pantai…”. Irlandia tak sebesar Kalimantan, tapi jika rumah keluarga Emmett berada di sepanjang pantai jelaslah mereka amat kaya dengan rumah sepanjang itu, atau barangkali yang dimaksud adalah “berada di tepi pantai”?

Dalam salah satu artikel soal “serba-serbi kopi”, ada tulisan berjudul Obituari yang bercerita tentang “tewasnya” mesin pembuat kopi, Mister Coffee, dengan gaya tutur personifikasi. Seolah Mister Coffee bekerja di sebuah keluarga dengan karier sebagai “Kepala Rumah Tangga – Spesialisasi dalam Pembuatan Kopi”. Barangkali yang dimaksud adalah semacam Butler atau lebih pasnya, Kepala Urusan Rumah Tangga, karena kepala rumah tangga dalam pemahaman Indonesia adalah suami atau ayah.

Lantas mereka yang ingin datang ke pemakaman Mister Coffee, “… diminta membawa donat, cangkir kertas, dan penyedap rasa…”. Anda tertarik minum kopi dengan campuran Ajinomoto atau Sasa atau Miwon atau merek-merek monosodium glutamat lainnya? Saya tidak.

Karena itulah saya lebih banyak membaca buku ini sambil minum kopi demi menelan saja pahitnya gumpalan-gumpalan kalimat yang tak tersunting halus itu. Sembari berharap saya membeli saja nanti ketika buku ini dicetak ulang, yang barangkali sudah dipermak di sana-sini.

Pilihan lainnya, ya mulai beralih minum teh saja karena terjemahan Chicken Soup for the Tea Lover’s Soul oleh Donna Widjajanto lebih apik. Lagipula mengingat ada 200 lebih halaman, rasanya tak mungkin minum campuran abunya dengan kopi seperti gadis di film tadi.

1 komentar:

  1. Dimana saya bisa membelinya untuk saat ini??
    apakah masih ada di Gramedia?

    BalasHapus